SDI Tambora: Potret Kehidupan Pendidikan di Pinggiran Jakarta


Hello hello mengenang lagi gimana kegiatan saya bersama teman-teman YAFI (Youth's Act for Indonesia) selama sekitar 4 bulan di sebuah SD swasta di Tambora, Jakarta Barat. Saya ingin berbagi sedikit cerita tentang profil sekolah ini.



Potret kehidupan banyak adik-adik kita nyatanya tidak hanya ditemukan di pelosok negeri Indonesia seperti di Papua, NTB, dll. Potret mereka juga bisa kita temukan di pinggiran kota Jakarta seperti di Tambora. Masih ada potret adik-adik YAFI di SD kawasan Pancoran dan Petamburan. Tulisan selanjutnya tentu akan saya ceritakan bagaimana ada cinta dan keceriaan di tiga SD yang YAFI temani selama ini. Mulai dari bagaimana mencari SD-SD di kawasan Jakarta yang memang butuh "sentuhan". Hingga akhirnya Tuhan mempertemukan kami dengan tiga SD tersebut.



Kali ini saya ingin menceritakan tentang profil SDI Tambora, Jakarta Barat. Semoga tidak bosan membaca tulisan saya ya.:D

Yup, apapun itu. Komentar selalu ada. Konsistensi untuk tetap berdedikasi untuk negeri dari lingkungan yang sangat sederhana membuat kepuasan batin tersendiri bagi saya, kami, teman-teman YAFI yang lain.
Berdiri sejak 1950, SDI Tambora belum memiliki perpustakaan, sebuah ruangan yang sangat penting bagi setiap sekolah, karena didalamnya terdapat banyak sekali pengetahuan untuk menambah kazanah keilmuan. Bukankah buku adalah jendela dunia?

Sampai akhirnya anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas YAFI "menyentuh" SDI Tambora. Kami tergerak untuk membuatkan pojok baca untuk adik-adik SDI Tambora. Sejak Desember 2011 YAFI bersama para volunteer mengadakan pengajaran secara sukarela kepada adik-adik SDI Tambora dan berkat bantuan donatur dan volunteer berhasil mengumpulkan lebih dari 500 buku hingga SDI Tambora resmi memiliki pojok baca pada Maret 2012. 


Dengan jumlah murid keseluruhan berjumlah 88 orang dari kelas 1 hingga kelas 6, setiap kelas hanya dihuni sekitar 20-25 orang murid. Rata-rata pekerjaan orang tua murid adalah sebagai buruh pasar, tukang bajaj, bahkan ada yang berprofesi sebagai pemulung. Ada juga salah satu adik yang membantu pekerjaan Ibunya sebagai pembantu rumah tangga. 

Biaya SPP siswa perbulan sebesar Rp25.000,- per bulan dengan gaji guru rata-rata kurang dari 200 ribu per bulan. SDI Tambora pernah menerima bantuan renovasi dari perusahaan swasta dan dana bos yang digunakan untuk membayar SPP. 

Fasilitas yang terdapat di SDI Tambora cukup minim. Mereka tidak memiliki alat-alat peraga untuk menunjang jalannya pembelajaran seperti Globe, Patung anatomi, peta, dan alat peraga lainnya. Pembelajaran adik-adiknya hanya berdasarkan LKS dan tidak menggunakan Buku Pelajaran karena memang sekolah hanya menyediakan LKS sebagai bahan pembelajaran. 

Sepulang dari sekolah, banyak adik-adik yang bekerja untuk membantu orang tuanya. Seperti yang dilakukan Chintya, adik SDI Tambora kelas 5 SD ini harus membantu Ibunya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga sepulang dari sekolah. Kegiatan ini kerap dan sering Chintya lakukan sejak lama. Kehidupannya yang memang mengharuskan Chintya melakukan pekerjaan itu. Usia yang masih sangat muda kelas 5 SD tidak membuat dirinya manja dan tidak membantu pekerjaan Ibunya tersebut. 

Ada lagi Mimin, siswa yang saat ini duduk di kelas 6 SD ini orang tuanya bekerja sebagai pemulung. Ia sering berjalan bersama ayahnya untuk berkeliling pinggiran kota untuk mencari barang-barang yang memang masih layak pakai untuk kemudian ditukar lagi dengan sejumlah uang ke pengepul barang-barang bekas.




More contact:
Follow @YAFIndo

Hit me on:

0 comments:

Post a Comment